Diatas gedung tua aku menatap sendu sepetak area dibawahnya. Terlihat bebarapa orang tengah terduduk dikursi panjang yeng tersusun dibatas tembok ruangan. Kulihat tawa reyah mereka bercambur canda gurauan yang menyenangkan. Sungguh kebahagiaan muda yang tak terkira menjadi catatan sejarah di hari ini. Namun aku tak seperti adanya mereka. Aku masih terkatung, tertunduk menahan luka. Ku alihkan sejenak pandanganku pada langit yang tertutup awan gelap. Rintik hujan mulai menyapa, terhempas bersama angin membelai perlahan ragaku. Sahdu menambah resah dalam jiwaku.
“Dimanakah dia, kunanti sedari tadi namun tak jua dia tampakkan diri. Sudah lama rasanya mata ini tak melihatnya. Rindu aku akan tawa, canda, ketawadu’an dan akhlaqnya yang menawan.”.
Air mataku tak mampu ku pertahankan, mengalir perlahan dikesendirianku. Berharap dia hadir, menggugurkan kumpalan rindu yang membeku. Aku hanya bisa berharap. Aku mulai menyadari begitu dalam rasa itu tumbuh dalam jiwaku, menjadi sesak yang mencekik nafas. Terasa amat sakit saat ku sadar bahwa dia tak halal untuk trus aku fikirkan. Dan bertambah sakit lagi saat aku sadar dia terlalu sulit untuk kumiliki. Cinta pada manusia yang sedari dulu membuatku terluka. Begitu pula saat ini.
Aku tak pernah menyangka perasaan simpatiku menjadi benih cinta yang dalam. Cinta yang hanya mampu aku pendam tampa mampu aku utarakan. Cinta yang memaksaku untuk selalu mengingatinya dan merindukannya. Cinta yang membuatku merasa berdosa dan takut apabila melebihi cintaku pada Sang Maha Esa. Cinta yang membuat hari-hariku berharap takdir menyatukan hatiku dan hatinya. Harapan yang suci dimana cintaku menjadi ladang pahala, menjadi sarana meraih syurga dan cintaNya.
Gedung tua yang menjadi saksi hadirnya perasaanku, menjadi saksi pertemuan dan kebersamaanku dengannya tampak sendu menatapku. Akupun beranjak menapaki tangga meninggalkannya.
Read More..