Curahan hati


Bintang
Pelataran senja menyapaku kala aku tersentak akan sebuah jawab tanya dalam jiwa. Menggores perih menitikkan air mata. Ku pandang gemericik air dibatas desa yang sendu. Sekilas bayangmu menelusup perlahan dalam ingatanku.seketika kualihkan pada kuasa Mu. Sebuah panorama megah menjuntai bagai pasak yang teguh. Dihiasi hijau tanaman melambangkan keagungan. Agar ingtanku padanya beralih pada ingatanku padaMu dan juga agar kekagumanku padanya terganti dengan kekagumanku padaMu.Ku tatap lekat kumbang pada dahan bunga yang hendak layu. Bahkan mahkotanya mulai menitik satu persatu. Kupadang dan trus kupandang dan sang kumbang tetap masih bertahan.Seribu tanya mulai merajalela dalam benak kegundahanku. Berharap menjadi bunga, meski layu namun tetap ada sang kumbang yang setia menemani. Sebuah kebahagiaan dalam menyusuri hidup yang kian menantang.
Anganku mulai melambung tinggi pada mimpi dan bintang yang mulai bermunculan. Kemuning rembulan membawa pesona kecantikan nyata. Satu bintang yang paling indah ku simpan dalam harapan. Namun kelemahan dan ketidakberdayaanku membuatku terlampau sulit memetik bintang untuk ku genggam. Tapi tak apa selagi aku masih mampu menatap keindahan dan keceriaannya pada malam bersama kumpulan bintang yang berada disisinya. Melihatnya cukup bagiku mengusir sepi dan rindu. Rindu yang selalu hadir kala siang berganti malam. Kala mata tak mampu terlelap dalam pertengahan. Dan membuat kucuran air mata diantara sujud pajang disepertiga malam.
Gerimis…. Ku adukan rasa ku pada basah yang kau beri. Agar kesejukan basuhan sucimu meredam gelisah yang tengah mendera. Dan bila kau sampai kesebuah danau yang teduh, akupun ingin mengikutimu, ingin ku teduhkan jiwaku pada teduhmu. Dan jika engkau hendak menuju muara, inginku titipkan sebuah rasa pada aliran derasmu. Agar terhanyut dalam samudra luas dan terlarut bersama air laut. Hingga semuanya hilang tak tersisa dalam jiwa.
Namun jika engkau hanya berdendang dihadapku lalu terhenti sebelum kau mampu menghayutkan pedihku. Pada kesabaran aku sandarkan lara yang mendera. Pada keiklasan ku pahat rasa. Dan pada seyum ku simpan air mata. Hingga waktu berlalu dan takdir menjatuhkan satu bintang untukku tanpa ku harus tertatih menggapai sinar terang bintang di awang.
Yogyakarta, 2 Maret 2011
  IBU
Senja hadir dengan redup cahaya mendung. Sesaat tlah berakhir hujan yang menyiram bumi menyisakan angin dingin yang merasuk lembut dalam tubuhku. Masih sendiri ku dipojok kamar sederetan kos di kota ini. Satu semester ku hidupi ruangan ini dengan banyak hal. Tawa, kesal, lelah, tangis, rindu, gelisah dan banyak warna rasa lainnya ku torehkan. Dan kini waktuku untuk berdua-dua dengan nya tlah usai. Masa mengajakku untuk segera enyyah dari tempat ini, kembali kerumah yang tlah menanti hangat kehadiranku.
Harusnya ku membereskan semua barang-barangku dan esok aku pergi dari sini. Namun tergerak tangan dan inginku menyalakan monitor dan ku buka lembaran ketikan dalam sebuah folder yang tertera. Perlahan ku buka satu cerita hari-hari yang lalu dan pada akhirnya bibirku melantunkan bait kata yang terangkai oleh saudara yang entah seperti apa wajahnya. Yang jelas kutemukan sebuah kedamaiannya dalam pelukan seorang wanita bernama “Ibu”.
Serta merta wajah yang mulai memudar cahyanya dan mulai keriput kulitnya serta tatapan teduh itu muncul dalam memori ingatanku.
“Ibu….” Ku tau sejak awal tak ingin kau jauh dariku, sejak awal kau tak ingin aku meninggalkanmu. Karena itulah aku memilih kuliah ditempat yang masih mampu aku jangkau pulang pergi dalam sehari. Tapi disemester ini aku meminta untuk meninggalkan rumah dan menetap dikamar ini diiringi tetesan air mata karena dirikupun tak beda denganmu, tak ingin jauh darimu.
Betapa teganya aku meminta hal itu, padahal aku tau kau tak pernah menentang keinginanku selama itu tidak melanggar norma yang berlaku dan kau selalu sekuat tenaga memenuhi segala pintaku. Meski terkadang kau rela makan seadanya untuk membelikan segala keperluanku. Dan kau pun tak pernah menunjukkan segala kesedihan, keresahan dan kekecawaan pada ku dan pada semua orang. Segenap rasa itu selalu kau simpan dalam bingkai ketabahan dan kesabaranmu.Yah itulah perjuanganmu untuk membuatku tumbuh meraih segala mimpi dan mengukir seyum dihari-hariku.
Ibu kau lah inspirasiku. Mengenang jejak-jejak kehidupanmu yang ku trima dari cerita-cerita saat kita bersama. Luar biasa. Kau tetap bangkit meski kesusahan melilit, kau tetap tegar dan sabar saat orang sekelilingmu merendahkan, mencibir tak peduli dan malah menyakiti.
Aku salut meski kau diperlakukan kejam tapi kau mampu menjadi anak yang paling berbakti melabihi anak kadungnya. Tak ada dendam dalam hatimu meski luka yang kau terima aku yakin tetap membekas menjadi sayatan dalam hati sampai saat ini.
Ibu aku juga terkagum kagum denganmu. Kau masih tetap menjadi istri yang berbakti dan mencintai serta menghormati suamimu, yang tak lain adalah bapakku. Meski bapak tak mampu memberikan rizki yang cukup untuk memenuhi segala kebutuhan kita. Dan kau begitu cerdas mengatasi itu semua hingga kau mampu berperan menjadi istri dan juga menopang kebutuhan rumah tangga, yang mana akhirnya kita mampu hidup layak dan berkecukupan.
Ibu kini usiamu tlah senja, ku lihat kau menahan kelelahan yang amat sangat. Guratan kepedihan dalam hidupmupun mampu kuterka saat ku pandang lekat wajah dan matamu.
Ibu sebentar lagi aku akan kembali, kan kita lalui hari-hari berganti bersama lagi. Kita akan kepasar bareng, kesawah berdua dan bercengkerama membuat tempe didepan tv sambil bercerita tentang hidupmu, hidupku dan hidup kita bersama. Ibu ingin ku bahagiakanmu disisa umurmu. Kan ku ukir seyummu sebagaimana kau ukir seyumku.
Salam rindu dari anakmu…
Yogyakarta, 16 Februari 2011

Read More..